HaHaHaHaHa

SELAMAT DATANG DI
" GUDANG ILMU GIGI "
ENJOY n FUN
NIKMATI ILMU YANG KAMI SAJIKAN

Sabtu, 14 April 2012

Anemia Disebabkan Teh


Coba perhatikan ketika kita makan di warteg , restoran atau warung padang , apa yang kebanyakan diminta sebagai pelepas dahaga ??  Air putih , Es Jeruk , Es Teh atau minuman kaleng ???? Pasti anda sudah tau jawabannya , Es Teh adalah juaranya ... Seperti salah satu tagline produsen teh kemasan yang sudah sangat terkenal di Indonesia , " Apapun Makannya Minumnya Pasti ........ " . Tagline yang sangat pas dalam mencitrakan produk teh tersebut .  

Nah apa hubungannya anemia dengan es teh ????? Emang ada hubungannya hehehhehe . Menurut penelitian dari salah satu perguruan tinggi negeri di Semarang yaitu Universitas Diponegoro , Fakultas Kesehatan Ibu dan Anak menemukan bahwa minum teh setelah makan dapat menyebabkan anemia atau anemia defisiensi zat besi.
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah, artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah. Jika simpanan zat besi dalam tubuh seseorang sudah sangat rendah berarti orang tersebut mendekati anemia walaupun belum ditemukan gejala-gejala fisiologis. Simpanan zat besi yang sangat rendah lambat laun tidak akan cukup untuk membentuk sel-sel darah merah di dalam sumsum tulang sehingga kadar hemoglobin terus menurun di bawah batas normal, keadaan inilah yang disebut anemia gizi besi
Minum teh paling tidak sejam sebelum atau setelah makan akan mengurangi daya serap sel darah terhadap zat besi sebesar 64 %. Pengurangan daya serap akibat teh ini lebih tinggi daripada akibat sama yang ditimbulkan oleh minum segelas kopi setelah makan. Kopi mengurangi daya serap hanya 39 %. Pengurangan daya serap zat besi itu diakibatkan oleh zat tanin dalam teh. Selain mengandung tanin, teh juga mengandung kafein, polifenol, albumin, dan vitamin. Tanin bisa mempengaruhi penyerapan zat besi dari makanan terutama yang masuk kategori heme non-iron, misalnya padi-padian, sayur-mayur, dan kacang-kacangan. “Bila kita makan menu standar plus segelas teh, zat besi yang diserap hanya setengah dari yang semestinya”

Menurut Dr. Rachmad Soegih, ahli gizi dari RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, zat tanin itu sendiri memang menghambat produksi hemoglobin. Kalau memang mau menghindari teh dan mendapatkan banyak zat besi, sebaiknya teh digantikan air jeruk sebagai peneman makan.

Anemia defisiensi zat besi mengganggu proliferasi dan pertumbuhan sel. Yang utama adalah sel dari sum-sum tulang, setelah itu sel dari saluran makan. Akibatnya banyak tanda dan gejala anemia defisiensi besi terlokalisasi pada sistem organ ini:
o Glositis ; lidah merah, bengkak, licin, bersinar dan lunak, muncul secara sporadis.
o Stomatitis angular ; erosi, kerapuhan dan bengkak di susut mulut.
o Atrofi lambung dengan aklorhidria ; jarang
o Selaput pascakrikoid (Sindrom Plummer-Vinson) ; pada defisiensi zat besi jangka panjang.
o Koilonikia (kuku berbentuk sendok) ; karena pertumbuhan lambat dari lapisan kuku.
o Menoragia ; gejala yang biasa pada perempuan dengan defisiensi besi.

Ada kiat minum teh yang tepat, agar minuman ini tidak menghambat produksi zat besi dalam sel darah:

* Teh akan berefek baik bagi tubuh bila dikonsumsi pada pagi dan sore, disertai karbohidrat dan protein, misalnya roti dan biskuit.
* Kiat lain, memberikan jeda minum teh setelah makan, misalnya dua jam setelah makan.

Jeda itu diperlukan karena rentang waktu itu diperkirakan cukup bagi usus 12 jari dan usus halus bagian atas untuk melakukan proses penyerapan makanan.

Jadi, boleh-boleh saja menyeruput teh kapan pun, asal tidak setelah makan. So, tunggu apalagi, buat secangkir teh hangat sekarang dan nikmatin deh.  Apalagi nyeruput es teh sambil nongkrong dengan teman-teman , pasti asyik banget . 


sumber: sini

Seminar Dream (Dental Research Exhibition And Meeting)



Tgl 10 Mei mini seminar di RSGMP AMC (pembicara Indonesia & Singapore) | 3 SKP
Tgl 11-12 Mei seminar dan table clinic di Ambarukmo Hotel (pembicara: kak Seto & dosen prodi UMY, Hongkong, Jepang dan Thailand) | 6 SKP
Kami tunggu kehadiran teman2 semua sejawat dokter gigi.
terimakasih...

Selasa, 03 April 2012

Komplikasi Penyembuhan Pasca Peradangan

Komplikasi Penyembuhan
Bahkan jika penyembuhan terjadi sesuai pada tingkat selular, kadang-kadang dapat terjadi komplikasi sebagai akibatnya. Sifat jaringan parut adalah memendek dan menjadi lebih padat serta kompak setelah beberapa lama.
1.      Kontraktur
Kontraktur yang dapat membuat daerah menjadi cacat, pembatasan gerak pada persendian.
2.      Striktur
Jika jarigan parut melingkari struktur berbentuk tubulus (misal, eretra), akibatnya dapat berupa striktur, yang menyempitkan struktur itu sendiri dan dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan yang berat.
3.      Adhesi
Jika permukaan serosa meradang dan eksudat tidak mengalami resolusi, maka jaringan granulasi dan jaringan parut akhirnya dapat merekatkan permukaan serosa, membentuk adhesi. Pada banyak daerah, seperti pleura dan perikardium, adhesi umunya memiliki memiliki pengaruh kecil pada fungsi organ. Akan tetapi, adhesi di dalam rongga peritoneum, apakah antara lengkung usus atau antar visera abdomen dan dinding tubuh, dapat menghasilkan selaput/jaringan yang dapat mempersempit bagian saluran pencernaan atau akhirnya dapat memerangkap organ-organ tersebut membentuk hernia interna yang dapat mengalami strangulasi dan menjadi gangren.
4.      Hernia insisional
Komplikasi lain yang kadang-kadang terdapat pada proses penyembuhan luka pada dinding tubuh adalah hernia insisional. Pada keadaan ini, jaringan granulasi dan parut  yang menjembatani defek pembedahan pada dinding tubuh secara bertahap menimbulkan tekanan intraperitoneum dan membentuk kantong yang menonjol di dalam insisi.
5.      Proud flesh
Komplikasi lokal ringan lain pada penyembuhan adalah penonjolan sebagian kecil jaringan granulasi di atas permukaan luka yang sedang sembuh, membentuk apa yang kadang-kadang disebut “proud flesh”. Penyembuhan umumnya berjalan baik jika pertumbuhan berlebihan yang banormal semacam itu dikauter atau dipotong.
6.      Amputasi atau neuroma traumatik
Merupakan proliferasi regeneratif serabut-serabut saraf ke dalam daerah penyembuhan tempat serabut-serabut saraf ke terjerat di dalam jaringan parut yang padat. Neuroma semacam itu dapat merupakan sebuah gumpalan yang tidak enak untuk dilihat atau bahkan menimbulkan nyeri di dalam parut.
7.      Keloid
Beberapa individu, tampaknya berbasis genetik, menangani produksi dan/atau remodeling kolagen dalam luka yang sedang sembuh secara abnormal sehingga terbentuk kolagen yang berlebihan, mengakibatkan suatu penonjolan yang disebut keloid. Keloid sedikit lebih sering dijumpai pada Afro Amerika dan orang Asia serta pada pasien-pasien muda. Secara biologis keloid bukan merupakan hal yang serius tetapi secara kosmetik dapat dianggap sangat penting.

Hartanto, Huriawati, Price, Sylvia Anderson, Pendit, Brahm U. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit Volume 1 eds 6. Jakarta: EGC. 2005

Senin, 02 April 2012

Faktor-Faktor Yang Berperan Pada Proses Radang

Faktor-Faktor Yang Berperan Pada Proses Radang
Pada beberapa keadaan, proses peradangan sejak awal dapat terganggu, yaitu pada stasium eksudatif. Seluruh proses radang bergantung pada sirkulasi yang utuh ke daerah yang terkena. Jadi, jika suplai darah ke suatu daerah berkurang, akibatnya dapat berupa proses peradangan yang sangat lambat, infeksi yang menetap, dan penyembuhan yang buruk. Syarat lain agar peradangan eksudatif efisien adalah suplai leukosit yang bebas di dalam sirkulasi darah. Pasien-pasien yang mengalami kerusakan atau depresi sumsum tulang (misal, akibat penyakit keganasan atauefek samping obat-obatan) tidak mampu memproduksi eksudat selular dengan fungsi normal dan sebagai akibatnya adalah rentan terhadap infeksi berat. Yang lebih jarang, fungsi leukosit dapat terganggu, walaupun jumlahnya normal (misal, kemotaksis abnormal, fagositosis normal, atau pembunuhan intraselular dan pencernaan abnormal), dan pasien dengan cara yang sama menjadi rentan terhadap infeksi agresif. Karena fungsi leukosit dibantu oleh antibodi tertentu, maka reaksi peradangan juga secara normal kurang efektif pada pasien-pasien imunodefisiensi. Akhirnya, obat-obatan tertentu dalam dosis yang cukup tinggi dapat menghambat aspek-aspek penting respons peradangan. Sebagai contoh, jika seorang pasien menerima kortikosteroid dosis tinggi atau obat0obatan antiinflamasi lain, peradangan dan penyembuhan dapat terganggu.

Minggu, 01 April 2012

Penyembuhan Luka

Penyembuhan Luka
Koordinasi pembentukan parut dan regenerasi mungkin paling mudah dilukiskan pada penyembuhan luka di kulit. Jenis penyembuhan yang peling sederhana terlihat pada penanganan luka oleh tubuh seperti pada insisi pembedahan, yang tepi lukanya dapat saling di dekatkan untuk dimulainya proses penyembuhan. Penyembuhan seperti itu disebut penyembuhan primer atau healing by first intention. Segera terjadi luka, tepi luka disatuka oleh tepian darah yang fibrinnya bekerja seperti lem. Segera setelah itu terjadilah reaksi peradangan akut pada tepi luka itu, dan sel-sel radang, khususnya makrofag, memasuki bekuan darah dan mulai menghancurkannya. Setelah reaksi peradangan eksudatif ini, dimulailah pertumbuhan jaringan granulasi ke arah dalam pada daerah yang sebelumnya ditempati oleh, bekuan-bekuan darah. Dengan demikian setelah beberapa hari, luka tersebut dijembatani oleh jaringan granulasi. Yang disiapkan untuk matang menjadi sebuah parut. Sementara proses ini terjadi, epitel permukaan di bagian tepi melakukan regenerasi, dan dalam waktu beberapa hari lapisan epitel yang tipis bermigrasi di atas permukaan luka. Seiring dengan jaringan perut di bawahnya menjadi matang, epitel ini juga menebal dan matang, sehingga menyerupai kulit di dekatnya. Hasilnya adalah terbentuknya kembali permukaan kulit dan dasar jaringan parut yang tidak nyata atau hanya terlihat sebagai satu garis yang menebal. Banyak luka di kulit yang sembuh dengan cara seperti ini tanpa perawatan medis. Pada luka lain, diperlukan jahitan untuk mendekatkan kedua tepi luka sampai terjadi penyembuhan. Jahitan dapat diangkat jika sudah terjadi organisasi dan regenerasi epitel hingga pada suatu saat tepi luka tidak akan membuka lagi jika benang di lepas. Jadi, di daerah kulit yang relatif terdapat sedikit tegangan, jahitan dapat diangkat dalam beberapa hari, jauh sebelum tercapai kekuatan parut dan sebelum tertimbunnanya kolagen dalam jumlah yang cukup. Di daerah yang teregang, jahitan harus dibiarkan di tempatnya lebih lama untuk menahan jaringan sampai dapat terbentuk jaringan parut yang kuat.
Pola kedua penyembuhan terjadi jika kulit yang mengalami luka sedemikian rupa sehingga tepinya tidak dapat saling didekatkan selama proses penyembuhan. Keadaan ini disebut healing by seccond intention atau kadang disebut penyembuhan dengan granulasi. Jenis penyembuhan ini secara kualitatif identik dengan yang diuraikan di atas. Perbedaannya yaitu hanya lebih banyak  jaringan granulasi yang terbentuk, dan biasanya terbentuk jaringan perut yang luas. Tentu saja, proses tersebut memerlukan waktu penyembuhan yang lebih lama daripada penyembuhan primer. pada luka besar yang terbuka semacam itu, sering dapat terlihat jaringan granulasi yang menutupi dasar luka seperti sebuah  karpet yang lembut, yang mudah berdarah jika disentuh. Pada keadaan lain, jaringan granulasi sebenarnya tumbuh di bawah keropeng dan regenerasi epitel tampaknya terjadi di bawah keropeng. Akhirnya pada keadaan ini, keropeng terlepas setelah penyembuhan lengkap.
Sebenarnya penyembuhan pada setiap jaringan tubuh terjadi dengan proses yang berjalan sesuai dengan yang digambarkan untuk kulit, dengan variasi-variasi lokal, bergantung pada kemampuan jaringan untuk beregenerasi dan sebagainya.


Faktor Yang Mempengaruhi Proses Penyembuhan
Proses penyembuhan, karena kebergantungannya pada proliferasi selular dan aktivitas sintetik, terutama sensitif terhadap defisiensi suplai darah lokal (dengan akibta gangguan pengiriman bahan baku), dan juga sensitid terhadap keadaan gizi pasien. Pada pasien yang sangat kekurangan gizi, penyembuhan luka tidak optimal. Penyembuhan luka juga diganggu oleh adanya benda asing atau jaringan nekrotik di dalam luka, adanya infeksi pada luka, dan imobilisasi serta pendekatan tepi luka yang tidak sempurna. Pada kasus yang nyata, dengan kegagalan pengobatan, luka bedah mungkin mengalami dehisensi, atau terbuka.